Spot Destinasai Wisata dan Sejarah Kota Gede di Yogjakarta

Discover The Old Town of Kotagede | Authentic Indonesia | Local Travel  AgencySpot Destinasai Wisata dan Sejarah Kota Gede di Yogjakarta – Kotagede merupakan sebuah wilayah yang secara administratif terletak di Kota Jogja dan Kabupaten Bantul. Berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Jogja, Kotagede memiliki tata kota yang terbilang unik dan sarat makna.
Tata kota Kotagede menyimpan jejak sejarah kehidupan masyarakat Kotagede. Oleh karena itu, terdapat berbagai pusaka budaya yang saling berkesinambungan dalam merepresentasikan kehidupan tradisional masyarakat Kotagede.

Budayawan Kotagede, Achmad Charris Zubair, mengatakan secara keseluruhan tata kota Kotagede merupakan kompleks situs bersejarah yang sarat akan filosofi sekaligus misteri. Tata kota Kotagede pun terus dilestarikan.

“Penataan bangunan Kotagede diatur Kerajaan Mataram. Awalnya dari tanah perdikan di wilayah hutan Mentaok,” kata Zubair pada detikJogja, Jumat (4/8/2023).

Tata Kota Kotagede

Menjelajah Kotagede, Kota Populer di Yogyakarta yang Kaya Akan Sejarah dan  Kuliner Tempo Dulu - Tribun Travel

Sebagai wilayah yang pernah berposisi sebagai pusat Kerajaan Mataram, tatanan kawasan Kotagede disusun menggunakan konsep tradisional Jawa yang disebut sebagai catur gatra (empat komponen) yakni keraton, pasar, alun-alun, dan masjid.

Konsep catur gatra tersebut merupakan cikal bakal pembangunan permukiman di Kotagede pada masa pemerintahan Panembahan Senopati dari Kerajaan Mataram. Zubair menjelaskan dua komponen Catur Gatra yang masih dapat dijumpai di masa kini adalah Pasar Legi dan Masjid Gedhe.

8 Baju Adat Jogja untuk Laki-laki: Ageng-Kencongan

Meski mengalami kerusakan akibat gempa pada tahun 2006, kedua bangunan tersebut masih berdiri kokoh dan menjadi pusaka budaya yang menjadi salah satu destinasi wisata Kotagede.

Filosofi Tata Kota Kotagede

Menurut Zubair, konsep Catur Gatra yang digunakan oleh Kotagede merupakan kombinasi dari berbagai makna dan filosofi yang berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat.

“Catur Gatra adalah empat dimensi yang harus ada di dalam sebuah kota, dan itu secara fisik harus ada tapi juga secara simbolik itu mencerminkan peran dan fungsi tertentu,” jelas Zubair.

Komponen pertama yaitu pasar yang merepresentasikan pusat perkembangan ekonomi masyarakat. Komponen berikutnya yaitu masjid, yang berfungsi sebagai pusat ibadah dan aktivitas spiritual masyarakat.

Di sisi lain, alun-alun dibuat untuk merepresentasikan kehidupan sosial manusia di mana tempat tersebut menjadi ruang publik tempat masyarakat saling bercengkrama.

Masjid Kotagede Jogja ini dibangun pada abad ke-16 oleh Panembahan Senopati

MASJID KOTAGEDE - Masjid Tertua di Yogyakarta

Terakhir, keraton merepresentasikan pemerintahan yang menjadi pusat dari segala kebijakan publik. Pada wilayah keraton, terdapat pembagian permukiman lanjutan yaitu, permukiman abdi dalem, permukiman masyarakat umum, dan permukiman keluarga keraton.

Saat ini, Alun-alun dan Keraton Mataram di Kotagede sudah tidak ada dan berubah menjadi permukiman warga serta pemakaman. Meski begitu, rumah-rumah yang dibangun tetap mengikuti pakem pembangunan rumah tradisional Jawa.

Rumah Tradisional di Kotagede

Dekorasi Rumah Yogyakarta - Blog | Vinoti Living

Sebagaimana rumah tradisional masyarakat Jawa pada umumnya, rumah tradisional di Kotagede juga terbagi berdasarkan bentuk atapnya, yaitu kampung, limasan, joglo, tajug dan panggang pe.

Hanya sebagian kecil rumah di Kotagede yang menggunakan atap bentuk panggang pe. Ada pula atap bentuk tajug yang tidak digunakan untuk rumah melainkan untuk bangunan sakral seperti masjid atau cungkup.

Tidak ada pembagian wilayah secara khusus dalam pembangunan berbagai jenis rumah tradisional Jawa yang ada di Kotagede. Semuanya tergantung pada kemampuan ekonomi dan kehendak sang pemilik rumah.

Selain itu, terdapat pula rumah kalang yang merupakan perpaduan antara arsitektur gaya Eropa, Hindu, dan Islam dengan arsitektur tradisional khas Jawa. Rumah kalang tersebar di daerah Tegal Gendhu dan Jagalan.

Menurut penuturan warga Desa Jagalan, Prajarno, khusus rumah joglo seluruhnya pasti menghadap ke arah selatan. Hal ini dilatarbelakangi oleh dua hal, yakni dari sisi keilmuan dan dari sisi kepercayaan.

Dari sisi keilmuan, posisi rumah joglo yang menghadap ke selatan dimaksudkan untuk menerima angin yang berhembus dari laut selatan dan membuat rumah tersebut memiliki sirkulasi udara yang baik.

“Angin dari laut selatan kan ke utara. Rumahnya menghadap ke selatan biar dingin anginnya bisa masuk rumah,” jelas Prajarno.

Sedangkan, dari sisi kepercayaan, rumah joglo harus menghadap ke selatan dimaksudkan untuk menghormati Nyi Roro Kidul yang dipercayai berada di laut selatan. Rumah joglo tidak boleh membelakangi laut selatan karena dianggap tidak sopan.

“Kalo dulu, waktu zaman Panembahan Senopati itu ada kaitannya dengan Ratu Kidul. Jadi menghadap selatan semua. Nggak boleh nyingkur (membelakangi) Ratu Kidul,” tambah Prajarno.

Misteri Bangunan Kotagede

Menurut penuturan Prajarno, ada salah satu rumah joglo yang pernah dibeli oleh seorang artis ternama seharga 1,5 miliar. Namun, artis tersebut mengalami peristiwa tidak mengenakkan yang mengharuskannya mengembalikan joglo tersebut kepada pemilik sebelumnya.

Peristiwa serupa juga pernah terjadi, di mana ada warga luar Jogja yang membeli kayu asli dari rumah joglo yang dibongkar. Ketika ia membawa kayu tersebut ke rumahnya di luar Jogja, ia kerap mendapat mimpi yang menunjukkan kayu tersebut ingin kembali ke Kotagede. Hingga akhirnya pembeli tersebut menyerah dan mengembalikan kayu itu ke Kotagede.

“Ada kepercayaan warga. Apa yang ada dan berasal dari sini (Kotagede), harus tetap berada di Kotagede,” cetus Prajarno.

Mengenai kepercayaan tersebut, Zubair mengaku tidak tahu secara pasti mengenai keabsahannya. Menurutnya, hal itu tidak bisa dijadikan sebagai kepercayaan kolektif.

“Itu saya ndak tahu juga ya. Tapi ya banyak yang terjual nggak kembali yo ada. Itu kasus per kasus. Jadi nggak semuanya begitu,” jelas Zubair.

Salah satu view di sudut Kotagede yang eksotis dengan bangunan heritage dan gang sempit bak labirin yang menggoda untuk ditelusuri. Foto: Erliana Riady

Zubair menambahkan selama ini banyak kayu-kayu bekas rumah di Kotagede yang dijual. Terutama setelah gempa Jogja pada 2006 silam.

“Sejak waktu gempa itu kan banyak yang runtuh dan kemudian tidak bisa dikembalikan lagi. Kan akhirnya dijual,” ujar Zubair.

Lebih dari itu, tata kota Kotagede yang saat ini memiliki banyak bangunan kosong justru menjadi daya tarik wisata Kotagede. Hal ini terbukti dengan banyaknya wisatawan yang mengunjungi Kotagede karena penasaran dengan bangunan-bangunan unik yang ada di sana.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top